Senin, 01 Februari 2016

Du’a  Maumere Bukanlah Komoditi


https://twitter.com/lamensewar/status/601975330958495744

Du’a adalah sebuah sapaan yang dikhususkan kepada seorang perempuan Maumere. Sapaan tersebut ditujukan kepada semua perempuan Maumere sebagai bentuk penghormatan kepada perempuan. Dalam sejarah tradisi Maumere, seorang perempuan sangat dihargai dan dihormati. Hal ini dikarenakan perempuan dipandang sebagai pemelihara kehidupan, di mana perempuan memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan baru di dalam dirinya. Sebagai salah salah satu kota di Pulau Flores, Maumere boleh dikatakan sebagai daerah yang yang sangat menjunjung tinggi martabat perempuan.
Hal ini terbukti dengan tingginya harga mahar (belis) yang diberikan kepada seorang perempuan saat upacara perkawinan.
Maumere merupakan ibu kota dari kabupaten Sikka, salah satu kabupaten dari provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota yang dikenal dengan keindahan wisata baharinya memiliki tradisi yang unik dalam upacara perkawinan. Keunikan terletak pada belis yang diberikan oleh keluarga besar pengantin laki-laki kepada keluarga besar perempuan. Dalam tradisi pernikahan orang Maumere, pengantin perempuan akan dihormati dengan memberikan belis dalam jumlah dan harga yang fantastis. Belis tersebut dapat beruba puluhan ekor kuda, emas, uang, sekian tandan pisang, kelapa, padi, puluhan ekor ayam, serta yang paling utama adalah gading gajah. Letak keunikan utamanya ada pada gading gajah, Kenapa disebut unik? Unik karena di Maumere sendiri tidak ditemukan satu ekor gajah pun, namun belis yang dibayar haruslah sebuah gading. Inilah bentuk penghargaan orang maumere kepada derajat perempuan. Benda berharga adalah sesuatu yang sulit didapat, sehingga lanyak diberikan kepada mereka yang dihormati.


Penghormatan atau Komoditas
Tradisi yang indah dan unik ini kini telah berubah secara total. Belis yang awalnya diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada derajat perempuan kini telah berubah makna. Penentuan belis yang berikan oleh pihak perempuan, telah mereduksi derajat anak perempuan mereka sendiri. Hal ini disebabkan karena pihak perempuan lebih mementingkan seberapa tinggi harga yang harus dibayar oleh pihak laki-laki. Tinggi rendahnya harga anak perempuan mereka hanya ditentukan oleh tingginya derajat keluarga serta tingginya pendidikan perempuan. Perempuan tidak lagi dihargai sebagai seorang manusia yang harus dihormati melainkan telah dirubah maknanya sebagi bentuk komoditi. Definisi komoditi yang dimaksud adalah sesuatu benda nyata yang relatif mudah diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan produk lainnya dengan jenis yang sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual oleh investor. Dengan demikian perempuan seakan-akan dianggap seperti sebuah barang yang bisa ditawar harganya. Jika kualitasnya bagus maka harganya mahal, dan bila kualitasnya rendah maka harganya murah atau bahkan tidak dihargai.
Sungguh tragis jika kita melihat fenomena ini. Tak jauh berbeda dengan apa yang yang tertulis dalam buku The Cultural Contradiction of Capitalism, di mana Daniel Bell melihat bahwa tubuh manusia dalam hal ini perempuan tidak lagi bermakna pada dirinya melainkan cenderung dilihat sebagai suatu komoditi yang akan menghasilkan modal. Kini tradisi orang Maumere telah merubah derajat perempuan sebagai suatu barang yang dihargai sebagai komoditi. Harganya tergantung pada kondisi tubuh perempuan tersebut. Akibatnya, para perempuan Maumere seakan berlomba-lomba untuk mendapat pendidikan yang tinggi. Alasannya sederhana bahwa agar dalam pernikahanya mereka diberi belis dengan harga yang tinggi. Rasanya tradisi yang telah mengakar bahwa perempuan adalah manunsia yang bermakna telah membius para perempuan Maumere akan bentuk reduksi makna atas diri mereka. Mereka tidak menyadari bahwa kini mereka adalah komoditi. Tragis memang jika makna yang begitu indah seakan menjadi cover yang indah pula untuk menutupi kejamnya reduksi yang terjadi atas perempuan.
Tradisi Bisa Menindas
Perempuan adalah spesies manusia yang juga sungguh eksis seperti laki-laki. Pada dasarnya kedua spesies ini sama, yakni sama-sama manusia yang terdiri dari jiwa dan tubuh. Perbedaan hanya terletak pada sex (alat kelamin). Tubuh manusia memiliki dimensi interioritas yang menjadikan spesies ini berbeda dengan tubuh laninya. Interioritas tubuh mansuia menjadikan kedua spesies ini bernilai manusiawi. Maka tubuh laki-laki tidaklah lebih tinggi atau lebih bernilai dibandingkan dengan perampuan. Seorang perempuan juga harus dihargai sebagai manusia bukan sebagai komoditi. Maka pandangan orang Maumere perihal pemberian mahar kepada perampuan secara tidak langsung telah merubah dimensi interioritas perampuan tersebut. Ia tidak lagi dipandang sebagai manusia, namun lebih sebagai sebuah barang.
            Saat ini perempuan Maumere sedang berada dalam zona tidak nyaman. Jika fenomena ini terus dijalani maka sebentar lagi perempuan Maumere akan ditindas habis-habisan. Perkawinan bukan lagi bermakna penyatuan dua rumpun keluarga melainkan perkawianan dijadikan sebuah proses jual beli. Akibatnya, pembeli akan menggunakan barang belanjaannya dengan sesuka hati dan jika barang belanjaannya telah usang, maka harus diganti dengan yang baru. 
            Keindahan makna dari pemberian belis kepada perempuan Maumere sebagai pemelihara kehidupan harus dikembalikan kepada makna yang semula. Perempuan harus juga dipandang sebagai manusia yang memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Perempuan tidaklah lebih rendah dari laki-laki. Perempuan bukan aset keluarga yang akan menghasilkan pundi-pundi bagi keluarganya. Perempuan adalah manusia yang daripadanya akan lahir kehidupan.
            Aliran feminisme telah membuka mata penulis dalam melihat bentuk ketidakadilan yang terjadi pada tradisi di Maumere. Kuatnya tradisi negara ini berdampak pada susahnya merubah tradisi yang salah dalam negara kita. Solusi yang dapat diambil dari fenomena ini adalah perlu adanya pemahaman akan makna sebenarnya dari pemberian belis terhadap perempuan. Belis diberikan sebagai bentuk peghormatan dan penghargaan kepada perempuan yang telah berperan sebagai “sang pemelihara”, bukan barang dagang yang siap dijual dengan harga tinggi. 

                                
Sumber Pustaka :
Klethus Badhick, 2006,” Wacana Tubuh Perempuan”  dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Jakarta.
Prasetyono, Emanuel, 2013, Dunia Manusia,Manusia Mendunia, Sidoarjo, Zifatama Publising,.



By. Oktavianus Geor 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar