Du’a Maumere Bukanlah Komoditi
https://twitter.com/lamensewar/status/601975330958495744
Du’a
adalah sebuah sapaan yang dikhususkan kepada seorang perempuan Maumere. Sapaan
tersebut ditujukan kepada semua perempuan Maumere sebagai bentuk penghormatan
kepada perempuan. Dalam sejarah tradisi Maumere, seorang perempuan sangat
dihargai dan dihormati. Hal ini dikarenakan perempuan dipandang sebagai pemelihara
kehidupan, di mana perempuan memberikan kesempatan bagi suatu kehidupan baru di
dalam dirinya. Sebagai salah salah satu kota di Pulau Flores, Maumere boleh dikatakan
sebagai daerah yang yang sangat menjunjung tinggi martabat perempuan.
Hal ini terbukti dengan tingginya harga mahar (belis) yang diberikan kepada seorang perempuan saat upacara perkawinan.
Hal ini terbukti dengan tingginya harga mahar (belis) yang diberikan kepada seorang perempuan saat upacara perkawinan.
Maumere
merupakan ibu kota dari kabupaten Sikka, salah satu kabupaten dari provinsi
Nusa Tenggara Timur. Kota yang dikenal dengan keindahan wisata baharinya
memiliki tradisi yang unik dalam upacara perkawinan. Keunikan terletak pada belis yang diberikan oleh keluarga besar
pengantin laki-laki kepada keluarga besar perempuan. Dalam tradisi pernikahan
orang Maumere, pengantin perempuan akan dihormati dengan memberikan belis dalam jumlah dan harga yang
fantastis. Belis tersebut dapat
beruba puluhan ekor kuda, emas, uang, sekian tandan pisang, kelapa, padi,
puluhan ekor ayam, serta yang paling utama adalah gading gajah. Letak keunikan
utamanya ada pada gading gajah, Kenapa disebut unik? Unik karena di Maumere
sendiri tidak ditemukan satu ekor gajah pun, namun belis yang dibayar haruslah
sebuah gading. Inilah bentuk penghargaan orang maumere kepada derajat
perempuan. Benda berharga adalah sesuatu yang sulit didapat, sehingga lanyak
diberikan kepada mereka yang dihormati.
Penghormatan
atau Komoditas
Tradisi
yang indah dan unik ini kini telah berubah secara total. Belis yang awalnya diberikan sebagai bentuk penghormatan kepada
derajat perempuan kini telah berubah makna. Penentuan belis yang berikan oleh pihak perempuan, telah mereduksi derajat
anak perempuan mereka sendiri. Hal ini disebabkan karena pihak perempuan lebih
mementingkan seberapa tinggi harga yang harus dibayar oleh pihak laki-laki. Tinggi
rendahnya harga anak perempuan mereka hanya ditentukan oleh tingginya derajat
keluarga serta tingginya pendidikan perempuan. Perempuan tidak lagi dihargai
sebagai seorang manusia yang harus dihormati melainkan telah dirubah maknanya
sebagi bentuk komoditi. Definisi komoditi yang dimaksud adalah sesuatu benda
nyata yang relatif mudah diperdagangkan, dapat diserahkan secara fisik, dapat
disimpan untuk suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipertukarkan dengan
produk lainnya dengan jenis yang sama, yang biasanya dapat dibeli atau dijual
oleh investor. Dengan demikian perempuan seakan-akan dianggap seperti sebuah
barang yang bisa ditawar harganya. Jika kualitasnya bagus maka harganya mahal,
dan bila kualitasnya rendah maka harganya murah atau bahkan tidak dihargai.
Sungguh
tragis jika kita melihat fenomena ini. Tak jauh berbeda dengan apa yang yang
tertulis dalam buku The Cultural
Contradiction of Capitalism, di mana Daniel Bell melihat bahwa tubuh
manusia dalam hal ini perempuan tidak lagi bermakna pada dirinya melainkan
cenderung dilihat sebagai suatu komoditi yang akan menghasilkan modal. Kini
tradisi orang Maumere telah merubah derajat perempuan sebagai suatu barang yang
dihargai sebagai komoditi. Harganya tergantung pada kondisi tubuh perempuan
tersebut. Akibatnya, para perempuan Maumere seakan berlomba-lomba untuk
mendapat pendidikan yang tinggi. Alasannya sederhana bahwa agar dalam
pernikahanya mereka diberi belis dengan
harga yang tinggi. Rasanya tradisi yang telah mengakar bahwa perempuan adalah
manunsia yang bermakna telah membius para perempuan Maumere akan bentuk reduksi
makna atas diri mereka. Mereka tidak menyadari bahwa kini mereka adalah
komoditi. Tragis memang jika makna yang begitu indah seakan menjadi cover yang indah pula untuk menutupi
kejamnya reduksi yang terjadi atas perempuan.
Tradisi
Bisa Menindas
Perempuan
adalah spesies manusia yang juga sungguh eksis seperti laki-laki. Pada dasarnya
kedua spesies ini sama, yakni sama-sama manusia yang terdiri dari jiwa dan
tubuh. Perbedaan hanya terletak pada sex
(alat kelamin). Tubuh manusia memiliki dimensi interioritas yang menjadikan
spesies ini berbeda dengan tubuh laninya. Interioritas tubuh mansuia menjadikan
kedua spesies ini bernilai manusiawi. Maka tubuh laki-laki tidaklah lebih
tinggi atau lebih bernilai dibandingkan dengan perampuan. Seorang perempuan
juga harus dihargai sebagai manusia bukan sebagai komoditi. Maka pandangan
orang Maumere perihal pemberian mahar kepada perampuan secara tidak langsung
telah merubah dimensi interioritas perampuan tersebut. Ia tidak lagi dipandang
sebagai manusia, namun lebih sebagai sebuah barang.
Saat ini perempuan Maumere sedang berada dalam zona tidak
nyaman. Jika fenomena ini terus dijalani maka sebentar lagi perempuan Maumere
akan ditindas habis-habisan. Perkawinan bukan lagi bermakna penyatuan dua
rumpun keluarga melainkan perkawianan dijadikan sebuah proses jual beli.
Akibatnya, pembeli akan menggunakan barang belanjaannya dengan sesuka hati dan
jika barang belanjaannya telah usang, maka harus diganti dengan yang baru.
Keindahan makna dari pemberian belis kepada perempuan
Maumere sebagai pemelihara kehidupan harus dikembalikan kepada makna yang
semula. Perempuan harus juga dipandang sebagai manusia yang memiliki derajat yang
sama dengan laki-laki. Perempuan tidaklah lebih rendah dari laki-laki. Perempuan
bukan aset keluarga yang akan menghasilkan pundi-pundi bagi keluarganya. Perempuan
adalah manusia yang daripadanya akan lahir kehidupan.
Aliran feminisme telah membuka mata penulis dalam melihat
bentuk ketidakadilan yang terjadi pada tradisi di Maumere. Kuatnya tradisi
negara ini berdampak pada susahnya merubah tradisi yang salah dalam negara
kita. Solusi yang dapat diambil dari fenomena ini adalah perlu adanya pemahaman
akan makna sebenarnya dari pemberian belis
terhadap perempuan. Belis diberikan
sebagai bentuk peghormatan dan penghargaan kepada perempuan yang telah berperan
sebagai “sang pemelihara”, bukan barang dagang yang siap dijual dengan harga
tinggi.
Sumber
Pustaka :
Klethus
Badhick, 2006,” Wacana Tubuh Perempuan” dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Jakarta.
Prasetyono, Emanuel, 2013, Dunia Manusia,Manusia Mendunia, Sidoarjo,
Zifatama Publising,.
By. Oktavianus
Geor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar