Senin, 01 Februari 2016

WANI (TA) BEBAS?
 “Sejarah dunia adalah kemajuan dalam hal kesadaran tentang kebebasan, suatu kemajuan yang harus kita kenali keberadaannya.” (Hegel)



https://www.google.co.id/search?q=wanita+bebas&espv=2&biw=1360&bih=667&site=webhp&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiSjtTL9dbKAhVGA44

            
Wani ta bebas?”. Ungkapan Jawa yang dalam bahasa Indonesia berarti “beranikah bebas?” itu menjadi pekerjaan rumah bagi setiap manusia, terlebih bagi wanita yang sejak zaman dahulu selalu mengalami penindasan baik secara implisit maupun eksplisit. Lahirnya feminisme menjadi bukti bahwa wanita ingin bebas dari itu semua. Bukan hanya itu, sekarang pun dapat dilihat betapa pengobjekkan perempuan terjadi lewat film-film porno, perkosaan, woman trafficking, iklan pakaian dalam, ajang kecantikan, dan sebagainya.
Dengan demikian, wanita semakin ingin bebas untuk memperjuangkan kesetaraan dan mengaktualisasikan diri. Pertanyaannya sekarang adalah apakah arti kebebasan itu? Jika wanita ingin bebas, wani ta? (beranikah?)
Berani untuk Bebas
            Jika wanita dihadapkan pada pertanyaan “Beranikah anda bebas?”, maka sebagian besar pasti akan menjawab “berani”. Kenyataan itu tidak terlepas karena setiap orang tidak ingin direndahkan, tidak ingin diplot sebagai “yang tidak bisa apa-apa”, dan selalu ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, kebebasan menjadi suatu hal yang mutlak perlu jika ingin dianggap berguna. Keberanian untuk bebas itu ditunjukkan oleh seorang atlet wanita. Dalam suatu artikel surat kabar, Susie Wolff (salah seorang atlet wanita F1) menyatakan keinginannya untuk bertahan di ajang balapan Formula 1. Tapi apa daya, kenyataan tidak berpihak padanya. Selain jam terbang yang ia rasakan cukup minim, regulasi F1 berusaha menegaskan bahwa wanita tidak diizinkan untuk bertanding bersama dengan pria. Bos besar Formula 1 Bernie Ecclestone bersikeras untuk merealisasikan wacana pembedaan kelas Formula 1, yakni untuk pria dan untuk wanita. Susie menganggap peraturan itu seksis, tidak menghargai kesetaraan gender, dan seakan-akan meremehkan potensi wanita untuk bersaing dalam ajang itu. Akhirnya, Susie memutuskan untuk pensiun dini setelah mengajukan protes.
Sebuah Determinisme Sosial?         
Peristiwa itu agaknya menjadi suatu akibat dari determinisme sosial. Determinisme sosial berarti bahwa kualitas pribadi seseorang sangat tergantung pada kualitas lingkungan yang menjadi dasar untuk menentukan perilaku dan pola pikir seseorang. Masyarakat telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menganggap ajang balapan seperti F1 atau Moto-GP adalah olahraga ekstrim yang tidak cocok apabila diikuti secara bersama-sama oleh pria dan wanita. Sehubungan dengan itu, wanita di mata kebanyakan orang sudah identik dengan kelemahlembutan dan urusan rumah tangga. Jadi, masyarakat tentu akan merasa “aneh” apabila wanita kemudian berurusan dengan hal-hal yang keras dan ekstrim seperti ajang balap dunia.
Determinisme sosial yang membelenggu masyarakat melahirkan sebuah masalah baru. Kaum determinisme tidak mampu melihat kedalaman karakter manusia sebagai makhluk paradoksal yang berbeda sama sekali dengan manusia sebagai makhluk multidimensional. Manusia dianggap hanya memiliki dimensi-dimensi hidup dengan peran dan status yang berbeda-beda, padahal paradoks, yang berarti tidak menghapuskan kebebasan dan tidak menghapuskan keharusan, mutlak perlu. Kaum determinisme perlu menyadari bahwa di balik setiap kebebasan manusia dalam bertindak terdapat suatu tanggungjawab yang harus dipikul, bukan hanya sekedar memenuhi hukum sebab-akibat.
Kebebasan sebagai Eksistensi  
Manusia dituntut untuk bersikap etis dalam menjalani kebebasan dan keharusan. Suatu keharusan bukan berarti dihilangkan begitu saja, tetapi dimaknai sebagai batas kebebasan. Manusia perlu kritis melihat realitas yang dipenuhi dengan perbedaan hasrat manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa hingga hari ini masyarakat masih terjangkit dengan pandangan yang me-”massal”-kan manusia. Segala macam bentuk keharusan dibuat untuk menyatukan perbedaan hasrat tanpa menilik kembali eksistensi yang ada. Kondisi ini membuat manusia, khususnya wanita, seakan tidak mempunyai kekhasan dan kehilangan eksistensi. Regulasi yang tidak memungkinkan pria dan wanita bersatu adalah bukti penghapusan eksistensi yang silent but deadly (diam-diam mematikan).
            Di sisi lain, wanita bisa jadi dikontrol oleh pembebasnya dan hal itu tentu akan menciptakan suatu kekangan baru. Dalam hal ini, wanita perlu cermat terhadap kebebasan yang dimiliki dan bijaksana menentukan pilihan. Sebagai contoh, apabila seorang wanita telah mengetahui tentang konsep kecantikan, tentu ia akan menggunakan kebebasannya untuk semaksimal mungkin menjadi cantik. Ia akan membeli kosmetik ini-itu dan baju-baju baru supaya terlihat lebih cantik. Hal itu terus-menerus terjadi dan wanita itu seakan tidak pernah puas dengan tahap cantik yang diraihnya. Terbelenggunya wanita itu dalam konsep kecantikan dapat dikatakan sebagai kebebasan yang menjadikan seseorang tidak bebas.
Beranikah Bebas?
            Pertanyaan “wani ta bebas?” bisa jadi ditujukan untuk semua orang saat ini. Menjadi manusia yang bebas adalah kerinduan semua orang. Kebebasan dimaknai sebagai nilai yang patut diperjuangkan di mana-mana. Akan tetapi, hanya subjektivitas manusia yang mampu menentukan bebas-tidaknya diri. Bagaimanapun juga, meraih kebebasan itu perlu proses. Sekarang tinggal bagaimana caranya untuk merubah pertanyaan “wani ta bebas?” menjadi pernyataan “wanita bebas”. Kira-kira itulah dambaan tiap wanita dalam menjalani eksistensinya.
Referensi:
Karena Dunia Balap Terlalu Lelaki”,  dalam Jawa Pos Kamis, 5 November 2015.
Pandor, Pius, Seni Merawat Jiwa, Penerbit Obor, Jakarta 2014.
Sihotang, Kasdin, Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009.

By: Robertus Bellarminus Aditya Wahyu Nugraha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar