WANI (TA) BEBAS?
“Sejarah dunia adalah kemajuan
dalam hal kesadaran tentang kebebasan, suatu kemajuan yang harus kita kenali
keberadaannya.” (Hegel)
https://www.google.co.id/search?q=wanita+bebas&espv=2&biw=1360&bih=667&site=webhp&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiSjtTL9dbKAhVGA44
“Wani ta bebas?”. Ungkapan Jawa yang
dalam bahasa Indonesia berarti “beranikah bebas?” itu menjadi pekerjaan rumah
bagi setiap manusia, terlebih bagi wanita yang sejak zaman dahulu selalu
mengalami penindasan baik secara implisit maupun eksplisit. Lahirnya feminisme
menjadi bukti bahwa wanita ingin bebas dari itu semua. Bukan hanya itu,
sekarang pun dapat dilihat betapa pengobjekkan perempuan terjadi lewat
film-film porno, perkosaan, woman
trafficking, iklan pakaian dalam, ajang kecantikan, dan sebagainya.
Dengan demikian, wanita semakin ingin bebas untuk memperjuangkan kesetaraan dan mengaktualisasikan diri. Pertanyaannya sekarang adalah apakah arti kebebasan itu? Jika wanita ingin bebas, wani ta? (beranikah?)
Dengan demikian, wanita semakin ingin bebas untuk memperjuangkan kesetaraan dan mengaktualisasikan diri. Pertanyaannya sekarang adalah apakah arti kebebasan itu? Jika wanita ingin bebas, wani ta? (beranikah?)
Berani untuk Bebas
Jika
wanita dihadapkan pada pertanyaan “Beranikah anda bebas?”, maka sebagian besar
pasti akan menjawab “berani”. Kenyataan itu tidak terlepas karena setiap orang
tidak ingin direndahkan, tidak ingin diplot sebagai “yang tidak bisa apa-apa”,
dan selalu ingin menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, kebebasan menjadi
suatu hal yang mutlak perlu jika ingin dianggap berguna. Keberanian untuk bebas
itu ditunjukkan oleh seorang atlet wanita. Dalam suatu artikel surat kabar, Susie
Wolff (salah seorang atlet wanita F1) menyatakan keinginannya untuk bertahan di
ajang balapan Formula 1. Tapi apa daya, kenyataan tidak berpihak padanya. Selain
jam terbang yang ia rasakan cukup minim, regulasi F1 berusaha menegaskan bahwa
wanita tidak diizinkan untuk bertanding bersama dengan pria. Bos besar Formula
1 Bernie Ecclestone bersikeras untuk merealisasikan wacana pembedaan kelas
Formula 1, yakni untuk pria dan untuk wanita. Susie menganggap peraturan itu
seksis, tidak menghargai kesetaraan gender,
dan seakan-akan meremehkan potensi wanita untuk bersaing dalam ajang itu.
Akhirnya, Susie memutuskan untuk pensiun dini setelah mengajukan protes.
Sebuah Determinisme Sosial?
Peristiwa itu agaknya
menjadi suatu akibat dari determinisme sosial. Determinisme sosial berarti
bahwa kualitas pribadi seseorang sangat tergantung pada kualitas lingkungan
yang menjadi dasar untuk menentukan perilaku dan pola pikir seseorang.
Masyarakat telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menganggap ajang balapan
seperti F1 atau Moto-GP adalah olahraga ekstrim yang tidak cocok apabila
diikuti secara bersama-sama oleh pria dan wanita. Sehubungan dengan itu, wanita
di mata kebanyakan orang sudah identik dengan kelemahlembutan dan urusan rumah
tangga. Jadi, masyarakat tentu akan merasa “aneh” apabila wanita kemudian
berurusan dengan hal-hal yang keras dan ekstrim seperti ajang balap dunia.
Determinisme
sosial yang membelenggu masyarakat melahirkan sebuah masalah baru. Kaum
determinisme tidak mampu melihat kedalaman karakter manusia sebagai makhluk
paradoksal yang berbeda sama sekali dengan manusia sebagai makhluk
multidimensional. Manusia dianggap hanya memiliki dimensi-dimensi hidup dengan
peran dan status yang berbeda-beda, padahal paradoks, yang berarti tidak
menghapuskan kebebasan dan tidak menghapuskan keharusan, mutlak perlu. Kaum
determinisme perlu menyadari bahwa di balik setiap kebebasan manusia dalam
bertindak terdapat suatu tanggungjawab yang harus dipikul, bukan hanya sekedar
memenuhi hukum sebab-akibat.
Kebebasan sebagai Eksistensi
Manusia
dituntut untuk bersikap etis dalam menjalani kebebasan dan keharusan. Suatu
keharusan bukan berarti dihilangkan begitu saja, tetapi dimaknai sebagai batas
kebebasan. Manusia perlu kritis melihat realitas yang dipenuhi dengan perbedaan
hasrat manusia. Tak dapat dipungkiri bahwa hingga hari ini masyarakat masih
terjangkit dengan pandangan yang me-”massal”-kan manusia. Segala macam bentuk
keharusan dibuat untuk menyatukan perbedaan hasrat tanpa menilik kembali
eksistensi yang ada. Kondisi ini membuat manusia, khususnya wanita, seakan
tidak mempunyai kekhasan dan kehilangan eksistensi. Regulasi yang tidak
memungkinkan pria dan wanita bersatu adalah bukti penghapusan eksistensi yang silent but deadly (diam-diam mematikan).
Di
sisi lain, wanita bisa jadi dikontrol oleh pembebasnya dan hal itu tentu akan
menciptakan suatu kekangan baru. Dalam hal ini, wanita perlu cermat terhadap
kebebasan yang dimiliki dan bijaksana menentukan pilihan. Sebagai contoh,
apabila seorang wanita telah mengetahui tentang konsep kecantikan, tentu ia
akan menggunakan kebebasannya untuk semaksimal mungkin menjadi cantik. Ia akan
membeli kosmetik ini-itu dan baju-baju baru supaya terlihat lebih cantik. Hal
itu terus-menerus terjadi dan wanita itu seakan tidak pernah puas dengan tahap
cantik yang diraihnya. Terbelenggunya wanita itu dalam konsep kecantikan dapat
dikatakan sebagai kebebasan yang menjadikan seseorang tidak bebas.
Beranikah Bebas?
Pertanyaan
“wani ta bebas?” bisa jadi ditujukan
untuk semua orang saat ini. Menjadi manusia yang bebas adalah kerinduan semua
orang. Kebebasan dimaknai sebagai nilai yang patut diperjuangkan di mana-mana.
Akan tetapi, hanya subjektivitas manusia yang mampu menentukan bebas-tidaknya
diri. Bagaimanapun juga, meraih kebebasan itu perlu proses. Sekarang tinggal
bagaimana caranya untuk merubah pertanyaan “wani
ta bebas?” menjadi pernyataan “wanita bebas”. Kira-kira itulah dambaan tiap
wanita dalam menjalani eksistensinya.
Referensi:
“Karena Dunia Balap Terlalu Lelaki”, dalam Jawa Pos Kamis, 5 November 2015.
Pandor,
Pius, Seni Merawat Jiwa,
Penerbit Obor, Jakarta 2014.
Sihotang,
Kasdin, Filsafat Manusia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 2009.
By: Robertus
Bellarminus Aditya Wahyu Nugraha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar