Perang saudara di Inggris terjadi
bertahun-tahun antara kubu parlemen dan kerajaan. Kubu parlemen berhasil
memenangkan peperangan. Situasi damai tidak begitu lama. Perang saudara antara
kedua kubu yang sama pecah kembali! Akhirnya peperangan dimenangkan oleh kubu
kerajaan. (Simon Petrus L. Tjahjadi 2004: 228)
Situasi seperti itulah yang terjadi di masa
kehidupan Thomas Hobbes (1588-1679). Dari situasi itulah ia menyimpulkan teori
homo homini lupus est. Manusia adalah serigala bagi sesamanya (Simon Petrus L. Tjahjadi 2004:230). Kehadiran dan kemerdekaan seseorang mengancam keberadaan dan kemerdekaan orang lain. Satu-satunya cara agar manusia tidak merasa terancam adalah dengan melawan manusia yang lain. Oleh sebab itu, tidak heran jika Hobbes menganalogikan manusia seperti serigala yang saling menyerang sesamanya. Kendati demikian, hal ini tidak membuat kondisi lebih baik, malah memperparahnya karena nyatanya manusia senantiasa hidup di tengah orang lain. Bagaimana manusia dapat hidup harmonis? Bagaimana manusia dapat bebas dari tindakan saling mengancam?
homo homini lupus est. Manusia adalah serigala bagi sesamanya (Simon Petrus L. Tjahjadi 2004:230). Kehadiran dan kemerdekaan seseorang mengancam keberadaan dan kemerdekaan orang lain. Satu-satunya cara agar manusia tidak merasa terancam adalah dengan melawan manusia yang lain. Oleh sebab itu, tidak heran jika Hobbes menganalogikan manusia seperti serigala yang saling menyerang sesamanya. Kendati demikian, hal ini tidak membuat kondisi lebih baik, malah memperparahnya karena nyatanya manusia senantiasa hidup di tengah orang lain. Bagaimana manusia dapat hidup harmonis? Bagaimana manusia dapat bebas dari tindakan saling mengancam?
Hobbes mengusulkan agar antar manusia saling
mengadakan perjanjian. Masing-masing manusia menyerahkan seluruh kemerdekaannya
di bawah suatu kekuasaan yang mempunyai pengaruh atau kekuasaan besar
terhadapnya (Simon Petrus L. Tjahjadi 2004: 231). Hobbes mengatakan bahwa
kekuasaan yang lebih besar itu adalah negara. Dengan kata lain, kehidupan yang
bebas dari sikap saling mengancam ditemukan ketika manusia saling memberikan
kemerdekaannya. Kemerdekaan komunal diperoleh lewat menyerahkan kemerdekaan
pribadi-pribadi. Dengan demikian, hidup harmonis dapat terwujud. Tindakan
destruktif manusia satu sama lain dapat dihindarkan. Inilah nantinya yang
menjadi cikal bakal teori terbentuknya negara berdasarkan kontrak
sosial.
Menyerahkan kemerdekaan berarti mentaati
norma-norma yang dibuat oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Norma-norma itulah
yang menjamin kehidupan menjadi harmonis. Manusia yang menyerahkan kemerdekaannya
akan dilindungi oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Bagaimana jika ada manusia
yang tidak menyerahkan kemerdekaannya kepada kekuasaan yang lebih besar? Hobbes
menjawab, manusia seperti itu harus disingkirkan karena mengancam kemerdekaan
bersama. Nah... Term “kekuasaan yang lebih tinggi” ini dapat diganti dengan
term yang lebih cocok dan kita akan menemukan betapa kontekstualnya teori ini.
Misalnya, term tersebut diganti dengan negara, kelas, komunitas, dan
sebagainya.
Dari sini kita menarik lebih lanjut bahwa
mentaati norma yang ada adalah bentuk menyerahkan kemerdekaan yang dapat
dilakukan. Bisa jadi, jika komunitas kita kurang akur, ada pihak-pihak yang
memang sengaja tidak mau menyerahkan kemerdekaannya. Jika ditarik lebih luas
lagi, bisa jadi pihak-pihak yang membuat suasana kurang harmonis di negara ini
disebabkan karena mereka tidak mau menyerahkan kemerdekaannya. Mereka tidak mau
taat pada norma yang ada. Tidak heran jika masih ada saja tindakan pelanggaran
kemerdekaan orang lain di negri ini.
Apa yang dibutuhkan adalah kesadaran seperti
ini, “Aku menyerahkan kemerdekaan bukan karena aku mau menjadi objek komunitas
atau organisasi dan sebagainya. Aku menyerahan kemerdekaanku dan memilih untuk
taat agar aku dapat menjadi subjek yang berperan dalam mewujudkan kemerdekaan
dalam hidup bersama.”
Daftar Pustaka
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan
Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Kanisius, Yogyakarta,
2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar