Senin, 09 November 2015


Penjajah Moderen: “Tabiat Penguasa”
17 Agustus merupakan hari besar kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Tanggal tersebut merupakan hari paling bersejarah bagi seluruh bangsa Indonesia. Penyebabnya adalah 17 Agustus adalah awal dari sejarah rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah ratusan tahun lebih berada di dalam kekuasaan penjajahan, sekaligus pertanda awalnya revolusi Indonesia. Kemerdekaan Indonesia bukanlah baru seumur jagung. Kini 70 tahun sudah masyarakat Indonesia menikmati hasil dari perjuangan para pahlawan. Genangan darah pejuang, linangan air mata janda pejuang, dan jutaan nyawa rakyat yang gugur dalam
medan perang diberikan demi merebut kemerdekaan dan kesejahteraan bagi para penerusnya.
Lalu apakah yang dapat kita berikan sebagai ucapan terimah kasih atas semua yang telah kita terima saat ini? Apakah kita hanya sekedar memperingatinya dengan melakukan upacara pengibaran bendera setiap tahun, dan sejenak menundukan kepala untuk mendoakan para pahlawan? Rasanya terlalu gampang jika kita membalasnya hanya dengan bertindak demikian. Kurangnya penanaman makna kemerdekaan telah membawa negara kita pada berbagi kasus kejahatan, misalnya pembunuhan, tindakan asusila, korupsi dan lainya sebagainya. Apakah dengan hal tersebut bangsa ini telah merdeka? Atau mungkin dapat dikatakan negara kita masih dijajah?
Kasus-kasus yang demikian semakin menguatkan bahwa negara kita pada dasarnya masih dijajah. Kekuasaan para penjajah (Jepang dan Belanda) selama beratus-ratus tahun telah “mewariskan” sebuah “tabiat penguasa” dalam tubuh bangsa kita. Maka warisan tersebut tetap dipertahankan hingga kini, di mana para penguasa masa kini kembali menjalankan apa yang telah diwarikan yakni “tabiat penguasa”. Sepertinya penjajahan hanya dipindah tangankan dari penjajah asing kepada penjajah pribumi. Bukankah demikian?
Penjajahan sepertinya bersifat absolut dalam negara kita. Layaknya sebuah monster raksasa yang memiliki kuasa penuh seperti yang dijelaskan oleh Thomas Hobbes[1] seorang filsuf Inggris dalam bukunya Leviathan[2]. Dalam pandangannya tentang manusia, Hobbes menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk memuaskan kepentingannya sendiri. Demi mengejar kepentingannya tersebut, manusia akan memelihara dan mempertahankan kekuasaannya. Pihak lain akan dianggap sebagai lawan yang akan merebut kekuasaannya. Dengan demikian manusia dalam pandangan Hobbes bersifat antisosial. Sikap anti sosial membawa manusia pada sikap egois dan hedonisme. Persaingan antara manusia akan terus terjadi untuk mempertahankan kekuasannya masing-masing. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika Hobbes sendiri mengatakan bahwa “Homo Homili Lupus” manusia adalah serigala bagi sesamanya.[3] Konsep negara dalam pemikiran Hobbes diibaratkan bagaikan seekor monster besar “Leviathan” yang memiliki kekuasaan penuh. Di mana negara memiliki hak penuh atas rakyatnya dan negara tidak memiliki kewajiban apaun atas rakyatnya.
Jika kita mensintesakan pandangan Hobbes perihal konsep manusia dan negara maka kita akan menemukan suatu negara yang dipenuhi dengan orang-orang egois yang berkuasa penuh atas negaranya. Lalu akan menjadi apakah negara tersebut? Kasarnya negara Indonesia adalah hasil sintesis kedua konsep dalam pandangan Hobbes tersebut.
Kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara kita semakin menunjukan bahwa mereka adalah manusia dalam pandangan Hobbes yang bersifat egois dan hedonisme. Kedudukan menjadikan mereka serigala bagi sesamamnya. Sejuta kepentingan rakyat dimanfaatkan demi kepentingan pribadinya. Tabiat penguasa mengakar kuat dari generasi ke generasi sehingga penjajahan seakan tak pernah berakhir hingga saat ini.
Rasanya term kemerdekaan kurang cocok jika disematkan pada negara Indonesia. Karena kemerdekaan hanya masih berupa wacana yang masih harus dikejar untuk diwujudnyatakan. Perjungan demi perjuangan terus dilakukan untuk meraih kemerdekaan yang sesungguhnya, Namun apalah gunanya jika manusia yang antisosial masih bertebaran dan menjamur didalam negara ini? Jika masih demikian maka sia-sialah segala usaha dan upaya kita.


By. Oktavianus Geor


           











[1] Thomas Hobbes dari Malmesbury adalah seorang filsuf Inggris yang beraliran empirisme. Pandangannya yang terkenal adalah konsep manusia dari sudut pandang empirisme-materialisme, serta pandangan tentang hubungan manusia dengan sistem negara.Hobbes memiliki pengaruh terhadap seluruh bidang kajian moral di Inggris serta filsafat politik, khususnya melalui bukunya yang amat terkenal "Leviathan". Hobbes tidak hanya terkenal di Inggris tetapi juga di Eropa Daratan. Selain dikenal sebagai filsuf, Hobbes juga terkenal sebagai ahli matematika dan sarjana klasik. Ia pernah menjadi guru matematika Charles II serta menerbitkan terjemahan Illiad dan Odyssey karya Homeros.
[2] HARDIMAN F BUDI, Filsafat Modren: Dari Machiavelli sampai Nietzche, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, 65-72.
[3] Ibid, 70-71. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar